
Pendahuluan
Amerika Serikat (AS), sebagai negara maju dengan infrastruktur hukum dan pendidikan yang kompleks, menghadapi tantangan serius terkait kenakalan remaja (juvenile delinquency). Meskipun memiliki infrastruktur penegakan hukum dan sistem pendidikan yang relatif kuat, kenakalan remaja tetap menjadi masalah sistemik yang berakar pada berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Fenomena ini menjadi perhatian bukan hanya karena implikasi kriminalnya, tetapi juga karena mencerminkan krisis struktural dalam pembinaan generasi muda (Siegel & Welsh, 2018). Oleh karena itu, penting bagi negara-negara seperti Indonesia untuk mempelajari dinamika kenakalan remaja di AS, baik dari sisi penyebab maupun pendekatan solusinya, sebagai bahan refleksi dan adaptasi kebijakan yang lebih kontekstual.
Fenomena Kenakalan Remaja di AS: Bentuk dan Statistik
Menurut data dari Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP), pada tahun 2021, pengadilan remaja di AS menangani sekitar 437.300 kasus kenakalan remaja, menunjukkan penurunan 39% dibandingkan tahun sebelumnya dan penurunan 73% sejak 2005. Adapun bentuk kenakalan remaja yang umum di AS mencakup:(OJJDP)
- Pencurian dan perampokan
- Kekerasan fisik dan penyerangan
- Penyalahgunaan narkoba dan alkohol
- Vandalisme dan perusakan properti
- Kejahatan senjata api, termasuk school shootings
Salah satu isu yang paling mendapat sorotan adalah insiden penembakan di sekolah (school shootings). Data dari Everytown for Gun Safety menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2023-2024, terdapat setidaknya 144 insiden penembakan di lingkungan sekolah, meningkat 31% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar pelaku dalam insiden ini adalah remaja di bawah usia 18 tahun.(Everytown Support Fund)
Selain itu, survei Youth Risk Behavior Survey (YRBS) oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa lebih dari 42% siswa SMA mengalami perasaan sedih atau putus asa yang berkepanjangan dalam 12 bulan terakhir, dan sekitar 29% melaporkan bahwa kesehatan mental mereka tidak baik selama 30 hari terakhir. Data ini menunjukkan adanya krisis kesehatan mental di kalangan remaja.(CDC)
Akar Masalah: Pendekatan Multikausal
1. Disfungsi Keluarga
Keluarga memainkan peran penting dalam perkembangan remaja. Studi menunjukkan bahwa perubahan dalam struktur dan dinamika keluarga, seperti perceraian, kekerasan domestik, dan kurangnya perhatian orang tua, dapat meningkatkan risiko kenakalan remaja. (Office of Justice Programs)
2. Ketersediaan Senjata Api
Akses mudah terhadap senjata api menjadi faktor signifikan dalam meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Pada tahun 2023, sebanyak 2.581 anak-anak di bawah usia 17 tahun meninggal akibat insiden terkait senjata api, menjadikannya penyebab utama kematian di kalangan anak-anak dan remaja. (Stateline)
3. Krisis Kesehatan Mental
Kesehatan mental remaja di AS mengalami penurunan yang signifikan. Data CDC berdasarkan Survei Perilaku Risiko Remaja (YRBS) tahun 2021, menunjukkan bahwa sekitar sepertiga (30,0%) siswa perempuan dan 14,3% siswa laki-laki di tingkat SMA pernah mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri selama 12 bulan sebelum survei. Selain itu, survey tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari 42% siswa SMA mengalami perasaan sedih atau putus asa yang berkepanjangan, dan 29% melaporkan kesehatan mental yang buruk dalam 30 hari terakhir. Faktor-faktor seperti tekanan akademik, perundungan, dan isolasi sosial berkontribusi terhadap masalah ini.(CDC)
4. Tekanan Sosial dan Budaya Kompetitif
Budaya performatif, terutama melalui media sosial, menciptakan tekanan identitas dan ekspektasi berlebih terhadap remaja. Penggunaan media sosial yang berlebihan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi dan perilaku menyakiti diri sendiri di kalangan remaja. (CDC)
5. Lingkungan Sosial dan Kriminalitas Komunitas
Beberapa lingkungan urban di AS dikuasai oleh geng atau kriminalitas komunitas. Remaja seringkali direkrut dalam kelompok-kelompok kekerasan karena kebutuhan akan identitas, proteksi, atau ekonomi. Studi dari Urban Institute menegaskan bahwa keterlibatan remaja dalam geng meningkat di lingkungan dengan pengangguran tinggi dan akses pendidikan rendah. (Urban Institute)

Respon Kebijakan: Punitif vs Restoratif
1. Diversion Programs
Program Diversion bertujuan untuk mencegah remaja masuk ke sistem pidana melalui konseling, pelayanan masyarakat, dan mediasi. Contohnya adalah Juvenile Detention Alternatives Initiative (JDAI), yang telah diterapkan di lebih dari 300 yurisdiksi di AS dan berhasil mengurangi penggunaan penahanan remaja yang tidak perlu. (DCYF)
2. Restorative Justice Programs
Pendekatan keadilan restoratif menekankan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban serta refleksi tanggung jawab moral. Pendekatan ini terbukti mengurangi residivisme dan meningkatkan pemahaman etis pada remaja. (NIJ)
3. Trauma-Informed Education
Sekolah-sekolah di beberapa wilayah, seperti California dan New York, mulai menerapkan model pendidikan yang peka terhadap trauma (trauma-informed schools), yang bertujuan memahami perilaku remaja sebagai gejala pengalaman traumatik, bukan hanya sebagai masalah disiplin. (NIH)
4. Investasi dalam Kesehatan Mental Sekolah
Sejumlah distrik mengalokasikan dana khusus untuk merekrut psikolog sekolah, konselor sebaya, dan pelatihan guru dalam identifikasi gangguan psikologis pada siswa. Langkah ini penting untuk mendeteksi dan menangani masalah kesehatan mental sejak dini. (APA)

Pembelajaran dan Rekomendasi bagi Indonesia
1. Cegah Akses Remaja terhadap Alat Kekerasan
Meskipun Indonesia tidak menghadapi persoalan senjata api seperti AS, penggunaan senjata tajam dalam tawuran pelajar maupun geng motor harus dicegah melalui pengawasan barang berbahaya di sekolah dan penegakan hukum yang tegas namun proporsional.
2. Prioritaskan Kesehatan Mental dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia perlu memperkuat layanan konseling psikologis di sekolah-sekolah, dengan pelatihan guru agar mampu mengenali gejala stres, depresi, dan kecenderungan menyakiti diri sendiri pada remaja.
3. Dekati Remaja sebagai Subjek, Bukan Objek Kebijakan
Remaja harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, khususnya kebijakan pendidikan, ruang publik, dan media digital. Partisipasi ini mendorong kepemilikan dan tanggung jawab sosial.
4. Hindari Kriminalisasi Berlebihan terhadap Remaja
Banyak kasus kenakalan di Indonesia ditangani dengan pendekatan hukum yang tidak proporsional, padahal remaja lebih membutuhkan bimbingan dan pembinaan. Indonesia dapat mengembangkan sistem keadilan restoratif yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan adat komunitas.
5. Bangun Sistem Pendidikan yang Peka Sosial dan Emosional
Kurikulum yang terlalu menekankan kognisi harus dilengkapi dengan pendidikan karakter, literasi emosi, dan keterampilan sosial. Finlandia dan Kanada telah membuktikan bahwa pendekatan ini mampu menurunkan angka kenakalan remaja secara signifikan.
Penutup
Amerika Serikat memberikan contoh ekstrem tentang bagaimana ketidakseimbangan antara kebebasan individu, disintegrasi sosial, dan minimnya perhatian pada aspek psikososial remaja dapat berujung pada krisis kenakalan yang sistemik. Namun, negara ini juga menunjukkan bagaimana dinamika evolusi kebijakan yang mengarah pada pendekatan yang holistik berbasis pemulihan, pencegahan, dan pendidikan sosial, dapat memperbaiki sistem secara bertahap.
Bagi Indonesia, ini bukan sekadar refleksi, tetapi juga panggilan untuk bertindak secara lebih komprehensif dan kontekstual: bahwa mencegah kenakalan remaja bukan sekadar soal menegakkan hukum, namun lebih dari itu. Tersedianya ruang aman, dukungan sosial, dan relasi sehat, akan memungkinkan remaja tumbuh sebagai manusia utuh yang akan menjauhkan mereka dari perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja.