ArticleLiterasi Digital

HIDDEN POSTULATE : Mengakses Pikiran Rocky Gerung

15 Mins read

 

Oleh : Yogaswara Prabawanto

“Dalam buku The Republic, hanya para calon filsuf raja dan
filsuf ratu yang berhak mendapatkan pendidikan dialektika.
Ilmu ini hanya untuk para filsuf yang dalam polis ideal Plato
nantinya memegang kekuasaan politis. Dialektika adalah
ilmu paling tinggi dalam kurikulum pendidikan (The
Republic VIII 534e).”

Perang Dialektika

Bagi negara, mendalami pikiran rakyat adalah kunci melanggengkan kekuasaan. Sementara bagi rakyat, memahami pikiran negara sama saja dengan menguasai diskursus publik yang pada akhirnya mampu membuka ruang bagi negara untuk diserang.

Rakyat semakin hari semakin matang dalam mengungkapkan hasrat kegelisahan dan pikirannya. Sejauh ini, rakyat sudah mulai berusaha mengemas protesnya dalam kalimat bernada sarkastik, satire, dengan semiotik dan dialektika yang terbebas dari delik hukum apa pun. Sehingga dengan kemampuannya tersebut, rakyat Indonesia (khususnya), saat ini menjadi ahli kritik yang fenomenal.

Rakyat menginginkan siapa pun yang mewakili negara menyadari bahwa penguasa yang sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri. Sadar, dalam istilah Yunani dikenal sebagai gnothi seauton atau know yourself dengan tambahan meden agan atau jangan berlebihan.

Terkait kesadaran, secara historis, pada saat penduduk Yunani mendatangi Kuil Delphi (tempat peziarahan Yunani Kuno), di sana terdapat tulisan yang konon berasal dari Dewa Apollon dengan isi meminta para peziarah untuk mengenal dirinya sendiri, dan menyadari bahwa mereka hanyalah manusia di hadapan Dewa, sehingga harus tahu batas. Secara ekstrem, rakyat ingin menyatakan bahwa pejabat politik atau pemerintah sesungguhnya adalah “jongos” rakyat dalam sistem demokrasi, dan karenanya mereka harus tahu batas atau tidak berlebihan.

Di sisi lain, negara pun sepenuhnya sadar bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat memang penguasa yang sebenarnya, dan oleh karena itu, para aparatur negara bekerja melayani rakyat. Namun demikian, di saat negara sibuk bekerja melindungi kepentingan seluruh rakyat, justru sebagian rakyat lainnya merasa kecewa dengan adanya aparatur yang korup.

Rakyat pada akhirnya merasa demokrasi yang telah dibangun melalui pertumpahan darah dan air mata (yang diniatkan membukakan jalan bagi orang baik untuk berkuasa) justru membuka peluang bagi para penjahat, khususnya saat semua digerakkan oleh transaksi-transaksi non-etis (wrongful and unlawful transaction). Transaksi ini sedikit banyak telah memperkecil peluang orang baik untuk terlibat dalam politik praktis. Padahal, Plato (Aristokles), seorang filsuf Yunani, menyebutkan bahwa “One of the penalties for refusing to participate in politics is that you end up being governed by your inferiors.”

Meskipun rakyat bersikap antipati terhadap penguasa, sering kali protes atau kritik rakyat terhadap negara tidak disusun dengan suatu narasi yang cukup, apalagi argumentasi yang kokoh. Sehingga argumentasi yang dihadirkan pada akhirnya hanya berupa ungkapan yang bersifat oracle, artinya kalimat bersayap, di mana penafsirannya tidak baku karena relevan dengan dua hal yang bahkan bertentangan sekalipun.

Dalam Aksi Mujahid 212 di Patung Kuda, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (28/9/2019), salah satu orator, Sugi Nur Raharja (Gus Nur), menuntut agar Presiden Jokowi lengser dari jabatannya. Namun, ia tak menjelaskan alasan mengapa meminta Jokowi mundur.

“Pak Jokowi, pasti Pak Jokowi nonton ini, pasti motoi (memfoto). Pak Jokowi, Pak Luhut, siapa pun nonton ini. Aku tahu, pasti suaraku nggak didengerin, tapi nggak masalah. Pilihannya hanya dua. Mundur sekarang atau nanti.”

“Pak Jokowi, mundur sekarang hina, mundur nanti tambah hina. Kalau Anda lanjutkan ini, wallahi tambah terhina, negara ini tambah hina. Kalau mundur sekarang, saya yakin rakyat, umat, Indonesia ini, walau sesakit-sakitnya hati ini tetap akan memaafkan,” tuturnya.

“Tapi aku bingung. Jujur. Kalau mundur siapa penggantinya. Aku sudah nggak percaya sama siapa pun. Bingung aku. Aku sing (yang) maju ya? Nek (Kalau) aku sing maju, karo (dibanding) Pak Jokowi, aku nggak kalahlah,” lanjut Gus Nur.

Bayangkan ketika Presiden mendengarnya, jadi harus mundur sekarang atau nanti? Mundur dari jabatannya sebagai apa? Apa yang dimaksud dengan terhina? Mengapa ia terhina? Dan mengapa meskipun terhina, tetapi kalau mundur sekarang tetap dimaafkan? Presiden Jokowi diminta mundur, tetapi di sisi lain Gus Nur sudah tidak memercayai siapa pun? Bingung!

Berbeda dengan Gus Nur, Rocky Gerung (seorang akademisi di bidang filsafat yang sering mengklaim dirinya mewakili pikiran rakyat), menghadirkan sebuah dialektika dengan standar baru yang ditujukan untuk menyerang negara. Kapasitas itu telah membuat siapa pun yang mencoba memahami dan mendekati jalan pikirannya, justru biasanya sedang melakukan suatu pemaknaan yang nyaris bertentangan dengan maksud dan tujuan Rocky sendiri.

Jangankan melawannya, saat lawan debatnya berusaha menafsirkan dialektika yang dipaparkan oleh Rocky, hampir tidak ada yang berakhir tanpa kekeliruan, seakan satu-satunya respons yang dapat membuat Rocky diam adalah dengan menyetujuinya.

Kondisi ini mungkin membuat negara frustrasi, karena sehebat apa pun program yang telah negara lakukan dan sebesar apa pun manfaat kebijakannya bagi publik, selalu berakhir pada hidden postulate yang seolah-olah mengatakan bahwasanya negara selalu salah dan rakyat selalu benar. Postulate tersebut pada akhirnya membuat sekecil apa pun tuntutan yang disuarakan publik, ancaman yang diterima negara adalah yang paling ekstrem, seperti revolusi, ganti penguasa dan sistem, pelengseran, olok-olok immoral, aksi brutal jalanan, terorisme, dan sebagainya.

Mudahnya, Anda memiliki seorang anak. Pada suatu hari, anak itu meminta makan, namun sambil mengancam bahwa apabila tidak dikabulkan, maka ia akan kabur dari rumah dan menjadi durhaka. Anda, sebagai orang tua, tentu berusaha mengabulkannya karena mendapatkan makanan memang hak dasar anak. Beberapa hari berselang, anak itu kembali lagi dan berteriak meminta mainan, dengan ancaman yang sama. Apakah Anda akan tetap memberikan mainan karena takut ia akan kabur dan menjadi durhaka?

Jadi, publik sadar bahwa negara seperti takut ditinggalkan rakyatnya, hilang teritorialnya, instabilitas keamanannya, dan yang lebih tragis, diganggu oleh aksi-aksi massa, baik yang bersifat subversif maupun terbuka. Pengetahuan publik akan ketakutan negara ini membuat mereka menjadi seenaknya dalam menyampaikan tuntutan. Padahal, perlu diketahui bahwa yang ditakutkan negara bukanlah kehilangan legitimasi atau teritori, melainkan keterpaksaan untuk bertempur melawan rakyatnya sendiri.

Dalam hal ini, tidak ada yang salah apabila publik memiliki sebuah tuntutan, tetapi apabila setiap tuntutan dibarengi dengan ancaman, yang secara terus-menerus dilakukan, maka sepertinya negara berhak mengambil sikap. Negara harus memperjuangkan kebijakan yang berdasarkan pada rasionalitas dengan tujuan kepentingan jangka panjang dan demi kelangsungan hidup negara.

Satu hal yang cukup mengkhawatirkan adalah, hidden postulate dan hipokrisi tersebut selalu bersifat eskalatif, sebagaimana tampak dari protes publik terhadap penggunaan non-lethal weapons (NLW) oleh aparatur kepolisian dalam menangani suatu insiden public disturbances.

Padahal, pada esensinya, NLW dimasukkan ke dalam inventaris alat-peralatan kepolisian adalah untuk menerjemahkan tuntutan publik terhadap pembatasan penggunaan kekuatan tidak mematikan dalam menghadapi ekspresi aspirasi masyarakat, yang semestinya dibedakan dari tindakan kriminal murni.

Sebagaimana dimaklumi, penindakan huru-hara di masa lampau cenderung menggunakan peralatan dan perlengkapan yang relatif bersifat mematikan, semisal penggunaan senjata organik standar dengan peluru tajam, dan lain sebagainya.

Namun demikian, pada kenyataannya, ketika aparatur kepolisian menindak suatu aksi rusuh massa dengan menembakkan baton round atau tear gas canister untuk membubarkan massa, maka nada protes yang terdengar dari publik tetap berbunyi “kekerasan” dan “pelanggaran HAM”. Artinya, negara hanya benar manakala aparaturnya tidak menggunakan “kekerasan.”

Ambisi Filsuf, Merebut Takhta?

Rocky memperhatikan secara seksama kemelut dalam perebutan takhta di Indonesia yang semakin memupus idealisme politik. Dalam literatur apa pun disebutkan bahwa politik adalah cara memperoleh kekuasaan untuk kehidupan yang lebih baik.

Namun, apakah kehidupan yang baik bisa dicapai dengan intrik-intrik yang justru menjadikan rakyat sebagai korban, bahkan musuh?

Filsuf pada hakikatnya adalah seorang penafsir atas apa pun yang dipilihnya untuk ditafsirkan. Apabila Rocky seorang filsuf, maka terlihat bahwa ambisinya bukanlah menjadi seorang politisi. Namun demikian, Rocky memiliki sikap politik yang didasari semangat untuk meningkatkan standar pendidikan demokrasi, setidaknya menurut versinya sendiri.

Rocky sadar bahwa hanya melalui pendidikan demokrasi yang benar, Indonesia bukan hanya akan terhindar dari rezim yang tiran, tetapi juga dari historic recurrence yang tidak emansipatif, di mana negara (atas nama kedaulatan) memberantas pihak-pihak yang memiliki perspektif anti-kedaulatan. Baginya, ini adalah hal yang buruk.

Dalam analisis Rocky, situasi saat ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika Athena berkembang pesat dan hebat sehingga menimbulkan konflik dengan Sparta. Kekuasaan yang begitu besar menjadikan Athena tidak mampu mengendalikan diri. Negara polis yang memiliki misi suci justru hancur oleh tindakan-tindakan koruptif dari pemimpinnya sendiri.

Pada masa itu, Plato (yang juga merupakan murid Socrates) menyaksikan demokrasi di Yunani justru membawa gurunya, Socrates, dijatuhi hukuman mati. Hal ini terjadi hanya karena beberapa murid Socrates bergabung dengan pihak yang tidak disukai penguasa. Padahal, Socrates diakui sebagai seorang filsuf yang memahami bagaimana kebenaran diperoleh. Bahkan, ia pernah menjadi prajurit infanteri yang bertempur untuk Athena.

Plato, yang menyaksikan gurunya diperlakukan secara biadab oleh penguasa, akhirnya meninggalkan dunia politik dan menenggelamkan dirinya dalam dunia filsafat. Ia membawa misi membangun kesadaran rakyat tentang nilai keadilan yang sesungguhnya. Keberaniannya didasarkan pada pengetahuan bahwa negara telah diperintah secara keliru. Tanpa persiapan dan kekuatan undang-undang yang cukup, perilaku pemerintah yang zalim akan sulit diubah. Motivasi ini tercantum dalam surat atau epistola yang ditulis oleh Plato sendiri.

Rocky berkeyakinan bahwa Indonesia sudah sedemikian mirip dengan apa yang terjadi di Athena. Atas dasar itulah, Rocky tergerak untuk mengambil langkah seperti Plato, yakni menjauhi politik praktis dan berfokus pada pendidikan demokrasi. Ia menyebarluaskan konsep berpikir “akal sehat” berdasarkan subjektivitasnya.

Sayangnya, subjektivitas yang dihadirkan oleh Rocky semakin menyejajarkan dirinya dengan kaum oposisi. Hal ini disebabkan oleh pikiran dan sikapnya yang hampir selalu selaras dengan apa yang diungkapkan oleh pihak oposisi.

Rocky selalu dinantikan oleh kaum oposisi karena ucapannya menjadi sabda yang diterima dengan baik oleh sebagian rakyat. Bahayanya, beberapa kaum radikal-teroris juga menantikan kritik tajam Rocky kepada negara untuk memperkuat keyakinan mereka bahwa negara penuh kemunafikan dan diatur oleh orang-orang zalim. Hal ini memberi mereka energi jihad baru. Akhirnya, secara logika, dialektika Rocky menjadi idola baru bagi para teroris.

Rocky seolah-olah sengaja disiapkan untuk menjadi seorang propagandis yang bertugas menemukan butiran narasi apokrif dari negara, khususnya Presiden, sekaligus bertugas sebagai provokator yang meningkatkan eskalasi opini bahwa negara selalu salah.

Dengan demikian, lakon Rocky sebagai bagian dari oposisi sepertinya masih jauh dari selesai. Bagi Rocky, obsesi dan ketamakan para elite terhadap kekuasaan yang merusak tatanan kehidupan bernegara justru semakin masif, bahkan mengakibatkan hilangnya “kehangatan berwarganegara” di antara sesama manusia.

Sebagian besar argumen Rocky dalam setiap forum publik dan debat memang unik. Narasinya membawa publik pada keasyikan imajinatif, sekaligus memaksa mereka terlibat dalam memecahkan teka-teki dan membuka simpul misteri atas peristiwa politik yang berkembang.

Dalam berbagai kesempatan, Rocky memang terkesan menggurui. Detail analisis yang diraciknya dengan apik dan emansipatif menjadi kekuatan yang membangun sifat egalitarian di tubuhnya. Publik yang awalnya tidak berniat mempelajari perspektif Rocky akhirnya terpesona oleh untaian kalimatnya. Namun, ada juga yang merasa jenuh karena istilah-istilah yang digunakannya terdengar asing dan sulit dimengerti.

Rocky mampu berselancar di samudera imajinasi berlatar belakang realitas politik dan sosial. Dalam setiap ceritanya, ia mengolah setting lakon berkarakter yang menggugah publik melalui dialog kaya perumpamaan. Publik kagum karena Rocky menguasai kronologi peristiwa dan setting cerita berdasarkan fakta sejarah, sehingga tidak ada narasi fiktif yang memancing protes.

Rocky selalu berusaha mengikuti nasihat Socrates bahwa tugas filsafat bukanlah menjawab pertanyaan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Hal ini menginspirasi Rocky untuk selalu mempersoalkan jawaban dari negara, baik berupa tindakan responsif terhadap kejadian yang berkembang, maupun pernyataan resmi dalam forum publik.

Keahlian utama Rocky adalah kemampuannya menyajikan perspektif dengan pendekatan relativisme, sehingga apa pun dapat dimaknai dari sudut pandang yang berbeda. Ia mampu membumbui fakta yang diakui publik dengan rasionalitas baru dan emosi samar.

Untuk menarik perhatian publik, Rocky menggunakan konsep emotional triggers. Ia memancing emosi publik dengan pernyataan radikal dan perumpamaan ekstrem. Dalam prosesnya, Rocky menggabungkan framing dan visualisasi untuk menolak status quo dan membuka imajinasi publik. Bahkan hal fiksi sekalipun dapat diterima sebagai realitas dalam pikiran pendengarnya.

Rocky menyadari bahwa menumbuhkan emosi negatif di hati lawan debat bisa membawa keuntungan. Dengan cara ini, lawan debat sering kali mengalami kecemasan dan kekacauan pikiran. Rocky memahami bahwa tidak semua orang mampu mengendalikan emosi, sedangkan emosi adalah penghalang untuk mencapai rasionalitas dan kebenaran.

Trilemma Gorgias dan Trilogi Dialektik

Schopenhauer, seorang filsuf Jerman, meyakini bahwa kebenaran objektif tidak mudah digapai. Oleh karena itu, orang yang melakukan debat pada dasarnya saling tidak mengetahui kualitas kebenaran yang dipegang masing-masing pihak.

Atas dasar itu, langkah praktis untuk tetap mengesankan publik adalah berbicara secara meyakinkan dengan memadukan data, argumen, dan emosi. Schopenhauer mengajarkan kepada publik tentang beberapa modus untuk menolak argumen lawan debat sehingga memberi kesan kemenangan.

Modus pertama disebut argumentum ad rem (menunjukkan bahwa argumen lawan tidak sesuai dengan topik pembicaraan). Modus kedua adalah argumentum ad hominem (menunjukkan bahwa argumen lawan tidak sesuai dengan diri orang yang berbicara).

Dalam berdebat, Rocky sesekali menggunakan modus argumentum ad rem, seperti ketika ia menyebutkan kalimat, “Bukan itu masalahnya, beliau gagal paham,” terhadap lawannya.

Yang menarik, ketika Presiden secara seksama menasihati rakyat Indonesia untuk tidak mudah menyebarkan berita bohong dan menyimpang (hoaks), argumentum ad hominem mulai dapat difungsikan untuk menyerang pribadi Presiden secara langsung. Dalam suatu forum, Rocky menggunakan modus tersebut dengan menyebutkan:

– Trilemmas Gorgias

TRILEMMA GORGIAS

Pertama:
Tidak ada sesuatu pun.

Kedua:
Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenali.

Ketiga:
Seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan tersebut tidak dapat disampaikan kepada orang lain.

(Dikutip dari Pengantar Sejarah Filsafat Yunani, Komunitas Salihara)

Gorgias mengatakan bahwa manusia pada umumnya lebih mudah percaya kepada opini daripada realitas. Mengingat realitas tidak stabil, kata-kata menjadi sangat penting untuk mempengaruhi opini. Kata-kata bisa ‘meyakinkan’ seseorang untuk mempercayai sesuatu sebagai realitas, mirip dengan sihir atau obat-obatan (pharmakon).

Seperti obat, daya persuasif kata-kata bisa bersifat positif atau negatif. Kata-kata mirip obat: sebagaimana obat mampu menyembuhkan penyakit sekaligus membunuh seseorang, kata-kata juga bisa membuat orang sedih atau bahagia. Kata-kata mampu membangkitkan semangat, tetapi juga dapat meracuni akal sehat dan membujuk orang untuk mengikuti. Jika Helena menjadi korban persuasi negatif kata-kata, hal itu tidak membuktikan bahwa ia amoral; ia hanya tidak beruntung.

Melalui retorika, Gorgias memberikan contoh bagaimana persuasi kata-kata dapat sedemikian hebat memperdaya Helena. Dengan kata-kata pula, Gorgias mempersuasi para pendengarnya sehingga yang benar menjadi salah, dan sebaliknya.

Gorgias mungkin hanya bermain-main dengan logika, namun kesadaran modern semakin melihat pentingnya kekuatan persuasif kata-kata. Fenomena efek placebo menunjukkan bahwa kata-kata bisa memengaruhi pikiran. Misalnya, dokter yang mengatakan bahwa kita diberi obat alergi, padahal sebenarnya hanya vitamin, bisa membuat kita percaya bahwa itu benar-benar obat alergi.

Gorgias sendiri mengakui bahwa motifnya membolak-balik sejarah hanyalah “main-main”, sekadar untuk menunjukkan bahwa ia pintar. Bagi kaum sofis, untuk hal apa pun mereka dapat mengatakan kebalikannya secara rasional dan argumentatif. Jika dipikir lebih lanjut, bukankah aktivitas seperti yang dilakukan Gorgias pada akhirnya hanya untuk “mengiklankan diri”, agar dikenal, terkenal, dan mendapatkan keuntungan pribadi?

Sementara itu, Hegel, filsuf Jerman, meyakini bahwa tidak ada satu pun kebenaran yang bersifat absolut. Menurutnya, segala sesuatu dalam ranah sosial pasti mengalami perubahan karena semua yang ada di dunia terpenjara oleh hukum dialektik. Satu-satunya hal yang absolut, menurut Hegel, adalah energi revolusioner untuk menghadirkan antitesis atas suatu tesis, yang kemudian diolah menjadi sintesis. Rumus sederhana trilogi dialektik Hegel adalah: tesis, antitesis, dan sintesis.

Negara, dalam hal ini pemerintah, diyakini telah berpikir keras menyusun kebijakan publik berdasarkan gagasan yang bermutu dan sesuai amanah konstitusi. Berbagai naskah akademik pasti dibuat sebelum suatu kebijakan dieksekusi. Setidaknya, naskah tersebut adalah tesis yang disajikan negara kepada publik.

Rocky Gerung ingin memastikan bahwa negara mampu mempertahankan tesisnya dari serangan antitesis yang ia sajikan. Dalam konteks ini, Rocky sejak awal memang meletakkan dirinya sebagai ahli antitesis terhadap beragam tesis negara.

Dialektika antara tesis negara dan antitesis Rocky telah menarik perhatian publik. Namun, Rocky membatasi dirinya untuk tidak masuk ke dalam trilogi dialektik terakhir, yaitu sintesis, karena menyusun sintesis adalah tugas negara.

Kendati demikian, Rocky tetap menampilkan dirinya sebagai The Devil’s Advocate—seseorang yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan karena kebencian terhadap persona lawan, melainkan untuk menguji logika dan validitas argumen tersebut.

Di sisi lain, negara menyadari bahwa dirinya sedang mengalami perubahan, khususnya akibat arus data dan informasi yang cepat dan masif. Negara berusaha memastikan semua informasi yang tersebar di masyarakat bukan sekadar konjektur, yaitu proposisi yang dipradugakan sebagai nyata atau benar, tetapi didasarkan pada landasan yang tidak konklusif.

Negara berkeyakinan bahwa memberikan kebenaran yang lebih solid dan tanpa tanda tanya di era penuh hoaks ini sangat penting. Tetapi bagi negara, hal itu lebih baik dibandingkan membiarkan publik tersesat pada realitas yang sebenarnya adalah konjektur. Oleh karena itu, negara merasa berkewajiban melakukan konfirmasi atas semua informasi yang tersebar di hadapan publik.

Meskipun berbagai konfirmasi telah diupayakan oleh negara, hal itu tidak membuat Rocky bergeming. Ia justru menilai bahwa klarifikasi negara tidak boleh mudah dipercaya karena manusia secara prinsip selalu berubah-ubah dan berpotensi berbohong, termasuk negara. Bagi Rocky, tidak ada kebenaran pada tataran gagasan sebelum secara matematis tidak ada lagi variabel yang terabaikan.

Hal ini mirip dengan Plato, yang rajin mengurai masalah dan kelemahan demokrasi tetapi tidak pernah menawarkan alternatif pasti untuk menggantikan rezim di Yunani. Plato memang pernah membahas imajinasi menghadirkan para filsuf sebagai pemimpin, tetapi tetap saja ia menyatakan bahwa sehebat-hebatnya para filsuf, pada suatu momentum, rezim itu akan merosot. Artinya, Plato tidak memberikan alternatif pasti saat mengkritik demokrasi; ia hanya memberikan gagasan yang harus dipikirkan publik.

Sementara negara memperjuangkan gagasan yang cukup solid—salah satu ciri Platonisme—Rocky membantah argumen tersebut dengan kesimpulan yang relatif. Rocky lebih mencari gagasan daripada sekadar aidos (apa yang tampak). Ini adalah permainan antara solidity dan relativity.

Selain itu, Rocky sepertinya pantas mendapatkan julukan “deinos”, sebuah julukan bagi kaum sofis pada masa lalu. Dengan kemampuan retorika dan dialektikanya, para sofis terlihat mengerikan, mengagumkan, layak ditakuti, tetapi juga layak dikagumi dan dihormati.

Publik merasakan kekaguman melihat cara Rocky menyampaikan logos dan tidak dapat berkutik saat ia melakukan persuasi secara terbuka. Mungkin inilah alasan mengapa ketika Rocky memberi ceramah di UIN Sunan Ampel, ia menyebutkan:

“ILC tempat saya ngibul, tapi di UIN saya bertobat.”

Hal itu mungkin terjadi karena dalam lakonnya sehari-hari, Platonisme adalah jalan hidupnya. Sementara di ILC, ia sesekali merelakan dirinya masuk ke dalam tinta dosa sofisme.

Melihat hal ini, apakah Rocky bisa disebut menghina moralitas filsuf karena sering mempermainkan gagasan dalam suatu aidos, layaknya kaum sofis?

Presiden Jokowi di Mata Rocky

Rumusan sederhana dari topik ini adalah pertarungan hidup mati antara platonisme dan sofisme. Kekesalan Rocky terhadap negara mungkin setara dengan ketidaksukaan Plato terhadap kaum sofis pada masa lalu yang dianggap telah merusak demokrasi, mengacaukan esensi kebenaran, sipervisial, manipulatif, ahli retorika, dan dialektika dalam makna yang tidak baik.

Meskipun begitu, dialektika Rocky terkadang tidak konsisten, berubah-ubah: terkadang ia mengadopsi platonisme untuk menyajikan kebenaran yang cukup solid, tetapi di momen tertentu ia juga menggunakan kebiasaan kaum sofis, hanya sekadar untuk memenangkan debat dengan membuat kebenaran yang disajikan pihak lawan menjadi bias, samar, bahkan relatif. Di samping itu, ia memaksa dengan sewenang-wenang apa yang ia mau publik pahami melalui argumentasinya yang mengolok-olok dan merendahkan, jelas ini juga bagian dari kebiasaan kaum sofis. Sofisme bukan hanya rumit, manipulatif, dan sesat, tetapi juga sering kali dimaksudkan untuk menipu.

Meskipun begitu, dalam kesehariannya, Rocky tampak menghindari gaya hidup kaum sofis. Hal ini dibuktikan ketika ia mengklaim tidak pernah menerima gaji dari hasil mengajar filsafat di Universitas Indonesia. Secara historis, kaum sofis adalah generasi pertama dari kalangan filsuf yang menerima imbalan setelah mengajar, atau dengan kata lain, mereka menjadikan status pendidik filsafat sebagai pekerjaan dalam sistem pendidikan filsafatnya. Berbeda dengan di Academia, sekolah bentukan Plato, tidak ada murid yang diminta membayar guru atau guru yang menerima bayaran.

Bagi Plato, mengajarkan kebaikan adalah penting. Ia meyakini bahwa kebaikan itu seperti matahari, tidak dapat dilihat atau dikenali, terasa sinarnya tapi tak mampu menggapainya. Sifat kebaikan itu tidak menyembunyikan diri tetapi terkesan tersembunyi. Kebaikan, semakin wujudnya dicari, maka ia akan semakin bersembunyi. Berawal dari kebaikan inilah muncul bentuk-bentuk lain seperti kebenaran, keindahan, keadilan, dan hal-hal positif lainnya. Kebaikan cenderung bersifat ilahi, sehingga pada dasarnya Plato tidak merestui argumen yang menyatakan bahwa munculnya kejahatan bersumber dari kebaikan.

Di dalam Istana, Presiden Jokowi mungkin menyadari bahwa sekeras apa pun kritik Rocky terhadapnya, adanya kritik tersebut justru menambah nilai demokrasi di Indonesia, atau setidaknya menambah literasi publik akan demokrasi. Jokowi seperti ingin memastikan ruang publik ini aman bagi para pengritik, bahkan untuk dialektika yang simpang siur sekalipun. Sering kali kebaikan negara tidak dapat dikenali oleh publik karena sifatnya yang tersembunyi. Seperti kata Plato, kebaikan memang sukar untuk dikenali, kebaikan itu layaknya matahari, ia memberikan sinarnya tetapi orang yang mencoba melihatnya akan sakit dan buta.

Kesan buruk terhadap Jokowi seperti statemen yang pernah terucap di ruang publik, “semua kejahatan, keburukan, kehancuran ini gara-gara Presiden,” merupakan postulat yang sering terdengar. Padahal dengan segala kemungkinannya, bisa saja hal buruk yang menimpa Indonesia terjadi di luar kuasa seorang Presiden. Ini biasa disebut sebagai natural evil. Rocky mengabaikan adanya natural evil dalam sistem perpolitikan di Indonesia dan ia tidak memakluminya. Hal itu karena ia berbicara pada tataran ideal, sementara ia sendiri mungkin sadar bahwa yang ideal tidak mungkin tercapai. Bahkan ketika sesuatu yang ideal hampir tercapai, Rocky akan menghadirkan kembali ide-ide baru sebagai bentuk ideal lainnya untuk seorang presiden. Dengan demikian, pada akhirnya, ide bukanlah hal yang pasti, tetap, ataupun kekal; ide pun cenderung berubah mengikuti imajinasi Rocky.

Pemikiran ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa kebenaran tidak ada di tingkat fakta-fakta, melainkan hanya di tingkat proposisi, dan objektivitas hanya merupakan sebuah konsensus antarsubjek saja. Bahkan, ide bahwa pengetahuan selalu bisa netral (dari segala kepentingan) bisa saja sebuah kesalahan, dan merupakan sebuah tipuan yang dirancang untuk menyembunyikan keberpihakan otoritas intelektual dengan kekuatan politik dan ekonomi tertentu.

Rocky mungkin terlalu mendefinisikan presiden sebagai jabatan politik yang maha tinggi, serba tahu, dan serba mengendalikan. Rocky seakan menyembunyikan pengamatan inderawinya bahwa presiden hanyalah seorang manusia yang meskipun memiliki aparatur di belakangnya, pasti akan tetap ada sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Itulah mengapa manusia, meskipun secara antropologi disebut sebagai makhluk yang paling sempurna karena memiliki akal, tetapi secara agama kesempurnaan hanya milik Tuhan.

Di lain pihak, sampai saat ini, respons Presiden Jokowi terhadap oposisi hanya ditunjukkan dengan upayanya memaksimalkan capaian kinerja dan efektivitas kebijakan agar supaya dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Baginya, itu sudah lebih dari cukup untuk menghadapi oposisi. Kerja melawan retorika.

Secara naluri, pemerintah yang hidup dalam ekosistem demokrasi tidak mungkin membiarkan kepercayaan dan kepuasan publik hancur oleh kebijakannya sendiri. Tegas bahwa keberlangsungan politik negara bermula dari kepuasan rakyatnya. Dalam kaitan tersebut, negara akan secara jujur melihat jenis kebobrokan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan sehingga tidak sesuai dengan konsep pikiran yang termuat dalam perencanaan di Istana. Pada akhirnya, demonstrasi menjadi momentum bagi negara untuk bersikap baik dan jernih dalam melihat persoalan yang mengemuka di masyarakat guna memperoleh kebijakan yang lebih adil.

Sikap pemerintah untuk mendengar tuntutan rakyat memang sudah tugasnya. Untuk itu, negara biasanya terlibat dalam mengawasi setiap aksi demonstrasi di mana pun. Tujuannya tidak lain untuk mengetahui apa yang salah dari kebijakan negara di mata rakyat, atau apa yang harus dilakukan negara menurut rakyat. Namun demikian, sikap negara tersebut sering kali mengalami kendala yang cukup pelik di lapangan. Di saat negara secara jujur ingin menemukan bobrok dalam kekuasaannya dari para demonstran, justru kebobrokan itu muncul dari pendemo itu sendiri.

Negara menemukan manipulasi. Sebagian protes publik bukan lagi dimotori oleh motif penderitaan dan kepedulian yang diakibatkan oleh lemahnya kebijakan negara, melainkan dimotori transaksi-transaksi nonetis yang dipicu oleh kebencian dan kehausan berkuasa. Dalam perkembangannya, negara menemukan realitas baru, bahwa beberapa aksi demonstrasi bukan digerakkan oleh klaim penderitaan, kepedulian, maupun kebenaran, melainkan oleh kekuatan transaksi rahasia yang masif dan terorganisir.

Realitas tersebut berdampak pada perubahan sikap negara dalam merespons setiap tuntutan publik di suatu kegiatan demonstrasi. Alur pikir para aparatur keamanan (pasca reformasi) yang tadinya cenderung mendahulukan husnuzan, sedikit demi sedikit menjadi suuzan. Negara khawatir, apabila proses demonstrasi sudah disusupi oleh oknum-oknum jahat, maka hal itu bukan hanya akan menimbulkan keresahan, melainkan instabilitas secara permanen.

Dalam jangka panjang, negara yang merelakan dirinya tunduk pada kekuatan demonstran padahal negara itu sendiri tahu bahwa kemurnian aksi tersebut telah bias dan teracuni, maka jargon “mengalah kepada rakyat” hanya akan membebani negara di masa depan. Beban yang sangat berat untuk dipikul, karena menghantui setiap langkah pemerintah dan rawan dimanfaatkan para superpower.

Realitas lain menunjukkan bahwa sebagian rakyat tidak merasa perlu memerhatikan perspektif negara, karena yang mereka pedulikan hanya bagaimana cara agar supaya negara tunduk kepada kepentingan mereka saat menggelar demonstrasi. Kondisi ini bisa membuat massa aksi mengklaim bahwa apabila tidak dengan kekerasan, maka aksi mereka tidak mungkin dilirik apalagi ditindaklanjuti. Dan apabila tidak diikuti dengan jumlah massa yang banyak, maka tuntutan mereka pun mustahil dikabulkan.

Pada akhirnya, penulis berargumen bahwa ketika aksi demonstrasi terjadi, rakyat selalu benar selama aksi tersebut didasari oleh penderitaan, kepedulian, dan kebenaran. Tetapi, apabila ditemukan ada transaksi-transaksi rahasia di dalamnya, negara menjadi pihak yang tidak dapat disalahkan apabila tuntutan yang disuarakan tidak ditanggapi secara serius.

Related posts
ArticleModerasi Beragama

MODERASI BERAGAMA DAN CARA MENGAPLIKASIKANNYA

3 Mins read
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keberagaman yang menjadi ciri khas di masyarakat. Keberagaman itu sendiri dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti agama,…
Article

Peran Diaspora Indonesia dalam Meningkatkan Minat Generasi Muda Berkarir di Luar Negeri

2 Mins read
Di era globalisasi saat ini, banyak negara mengandalkan diaspora mereka sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial. Mengingat Indonesia merupakan negara…
Article

Cognitive Warfare: Mandala dalam Ruang Berpikir Manusia (Mandala Perang ke-6 : War Over Space of Mind)

6 Mins read
Pendahuluan Mandala perang telah berkembang seiring dengan perubahan zaman, mencakup dimensi-dimensi fisik seperti darat, laut, udara, dan luar angkasa, hingga ruang siber…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *