
Pendahuluan: Krisis Sosial dan Titik Balik Kebijakan
Pada awal dekade 1990-an, Islandia, sebuah negara Nordik kecil dengan populasi kurang dari 300.000 jiwa saat itu, menghadapi krisis sosial yang mengkhawatirkan. Tingkat kenakalan remaja sangat tinggi, ditandai dengan konsumsi alkohol, tembakau, dan narkotika yang masif di kalangan usia sekolah. Studi nasional yang dilakukan oleh Icelandic Centre for Social Research and Analysis (ICSRA) pada 1998 mencatat bahwa 42% remaja usia 15–16 tahun pernah mabuk dalam 30 hari terakhir, 23% pernah menggunakan ganja, dan sekitar 23% merokok setiap hari. Aktivitas remaja pada malam hari berlangsung tanpa pengawasan orang tua, menciptakan lingkungan yang rentan terhadap perilaku menyimpang.
Kondisi ini mendorong kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, sekolah, dan keluarga. Hasilnya adalah formulasi Icelandic Prevention Model (IPM)—sebuah pendekatan yang menandai transformasi menyeluruh terhadap kebijakan pencegahan kenakalan remaja di Islandia. Model ini menggabungkan pendekatan berbasis bukti (evidence-based), pelibatan komunitas, subsidi aktivitas positif, penguatan peran keluarga, serta koordinasi lintas sektor.
Komponen-Komponen Kunci Model Islandia
1. Pendekatan Berbasis Data: Prediktif, Bukan Reaktif
Model Islandia bertumpu pada pengumpulan data yang sistematis dan konsisten. ICSRA mengadakan survei tahunan di sekolah-sekolah menengah atas (SMA) dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Kuesioner mencakup indikator penggunaan zat adiktif, kondisi emosional, keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler, relasi dengan orang tua dan guru, serta faktor lingkungan.
Menurut Kristjánsson et al. (2019) dalam jurnal Health Promotion International, pendekatan berbasis data memungkinkan pemerintah daerah dan pusat menyusun kebijakan spesifik yang berbasis kebutuhan aktual wilayah masing-masing. Strategi ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga memprediksi potensi risiko sebelum berkembang menjadi masalah besar.
2. Kebijakan Jam Malam Remaja (Youth Curfew Policy)
Islandia menerapkan kebijakan jam malam nasional bagi anak-anak dan remaja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Islandia (Child Protection Act No. 80/2002, Pasal 92), yaitu:
- Anak di bawah 12 tahun tidak diperbolehkan keluar rumah setelah pukul 20.00,
- Remaja usia 13–16 tahun tidak diperkenankan keluar rumah setelah pukul 22.00 tanpa pengawasan orang tua.
Yang membedakan kebijakan ini dari kebijakan sejenis di negara lain adalah penerimaan dan dukungan sosial yang kuat. Polisi, sekolah, dan masyarakat mendukung kebijakan ini melalui pendekatan persuasif, bukan represif. Dalam hal ini, norma sosial berjalan seiring dengan regulasi formal.
3. Penguatan Peran Keluarga dan Orang Tua
Salah satu pilar penting IPM adalah peningkatan kapasitas orang tua. Pemerintah menyelenggarakan program pelatihan bagi orang tua untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam kehidupan anak. Aspek yang ditekankan meliputi komunikasi terbuka, kehadiran fisik di rumah, serta keterlibatan dalam aktivitas sosial anak.
Studi longitudinal oleh Dineley Johnson (2011) menunjukkan bahwa makan malam bersama keluarga minimal lima kali dalam seminggu berkorelasi negatif dengan penyalahgunaan zat. Hal ini menunjukkan pentingnya kelekatan emosional dan rutinitas keluarga dalam mencegah kenakalan remaja.
4. Subsidi Kegiatan Seni dan Olahraga
Pemerintah Islandia mengucurkan anggaran besar untuk mendukung partisipasi remaja dalam kegiatan positif. Setiap anak mendapat voucher rekreasi dari pemerintah lokal yang dapat digunakan untuk bergabung dalam klub olahraga, seni, musik, tari, teater, atau kegiatan relawan. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan sosial yang positif dan alternatif yang menarik dibanding aktivitas negatif seperti mabuk atau pesta malam.
Menurut laporan European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA) (2019), kegiatan terstruktur pasca sekolah berfungsi sebagai faktor protektif yang signifikan terhadap kenakalan remaja, terutama jika dipadukan dengan dukungan keluarga dan lingkungan yang sehat.
5. Kemitraan Lintas Sektor dan Pendekatan Komprehensif
IPM bukanlah kebijakan sektoral, melainkan hasil sinergi antara berbagai institusi:
- Pemerintah lokal dan nasional merumuskan regulasi dan anggaran,
- Sekolah menjadi agen pelaksana dan sumber data,
- LSM serta organisasi pemuda membantu dalam pelaksanaan program,
- Akademisi menyuplai hasil riset untuk pengembangan kebijakan.
Struktur kolaboratif ini menciptakan ecosystem of prevention yang berkesinambungan dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Hasil Transformasi Sosial: 1998–2020
Efektivitas Model Islandia terbukti dalam rentang waktu dua dekade. Berikut data perbandingan dari survei nasional:
Indikator | 1998 | 2018 |
Remaja 15–16 tahun mabuk dalam 30 hari terakhir | 42% | 5% |
Merokok setiap hari | 23% | 3% |
Pernah menggunakan ganja | 17% | 6% |
Keterlibatan dalam kegiatan rekreasi ≥4x/minggu | 23% | 42% |
Transformasi ini tidak hanya menurunkan angka kenakalan remaja, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan sosial dan kesehatan mental remaja Islandia.
Kritik dan Tantangan Model Islandia
Meskipun terbukti sukses, pendekatan Islandia tidak lepas dari kritik. Pertama, subsidi kegiatan positif memerlukan anggaran besar, yang mungkin sulit ditiru oleh negara berkembang. Kedua, keberhasilan sangat bergantung pada partisipasi masyarakat dan norma sosial yang kuat—sesuatu yang belum tentu tersedia di semua negara.
Selain itu, pendekatan berbasis data mensyaratkan sistem statistik dan teknologi informasi yang mumpuni serta jaringan sekolah yang disiplin dalam pelaporan. Tanpa ekosistem ini, pendekatan serupa bisa gagal dalam tahap implementasi.
Implikasi dan Rekomendasi untuk Indonesia
Meskipun berbeda dalam struktur sosial dan budaya, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip IPM. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat disesuaikan dengan konteks nasional:
- Survei Nasional Tahunan Perilaku Remaja: Lakukan riset terstandar di sekolah-sekolah menengah sebagai dasar pembuatan kebijakan lokal dan nasional berbasis data.
- Kebijakan Jam Malam Berbasis Komunitas: Terapkan regulasi serupa melalui pendekatan kolaboratif dengan tokoh masyarakat dan RT/RW, bukan pendekatan militeristik.
- Subsidi Kegiatan Positif: Pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk kegiatan seni dan olahraga, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan ruang publik yang terbatas.
- Pelatihan Orang Tua dan Kampanye Nasional: Luncurkan kampanye nasional untuk mendorong keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak, didukung oleh pelatihan berbasis komunitas.
Sinergi Lintas Sektor: Ciptakan kerangka kerja kolaboratif antara Kementerian Sosial, Pendidikan, Kepolisian, BNN, LSM, serta perguruan tinggi untuk membangun sistem pencegahan yang terkoordinasi
Penutup: Kenakalan Remaja Bukan Takdir
Model Islandia memberikan pelajaran penting bahwa kenakalan remaja bukanlah keniscayaan budaya atau takdir sosial, melainkan hasil dari desain kebijakan dan partisipasi sosial. Dengan pendekatan berbasis data, dukungan komunitas, serta sinergi lintas sektor, perubahan sosial yang signifikan dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat.
Sebagaimana dinyatakan oleh Kristjánsson dkk. (2020), kunci keberhasilan adalah kesinambungan, adaptasi terhadap konteks lokal, dan keberanian untuk memprioritaskan pencegahan jangka panjang daripada solusi jangka pendek yang bersifat reaktif. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan model serupa dengan modifikasi yang sesuai dengan karakter bangsa dan kondisi sosial-ekonomi yang ada.
Referensi:
- European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (2019), European Drug Report 2019: Trends and Developments, Publications Office of the European Union, Luxembourg
- European Union Drug Agency. (n.d.). The Icelandic Prevention Model (IPM): application of environmental prevention principles based on a systematic local assessment of risk and protective factors. EUDA
- Kristjánsson, A. L., et al. (2019). Development and Guiding Principles of the Icelandic Model for Preventing Adolescent Substance Use. Health Promotion Practice. 2019;21(1):62-69. https://doi.org/10.1177/1524839919849032
- Kristjánsson, A. L., et al. (2019). Implementing the Icelandic Model for Preventing Adolescent Substance Use. Health Promotion Practice. 2019;21(1):70-79. https://doi.org/10.1177/1524839919849033
- Kristjansson, A. L., et al. (2021). Testing risk and protective factor assumptions in the Icelandic model of adolescent substance use prevention. Health Education Research, 36(3), 309–318. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33437995/
- Johnson, T. D. (2011). Teens who often eat dinner with family less likely to drink, smoke or use drugs. The Nation’s Health, 41(9), E46. https://www.thenationshealth.org/content/41/9/E46
- Sigfusson, J, (2019). Evidence Based Primary Prevention: The Icelandic Model. Planet Youth Helsinki.
- Sigfúsdóttir, I. D., et al. (2008). Substance use prevention for adolescents: the Icelandic model. Health Promotion International. https://doi.org/10.1093/heapro/dan038
- Undang-Undang Perlindungan Anak Islandia (Child Protection Act No. 80/2002, Pasal 92). https://www.althingi.is/lagas/nuna/2002080.html