
Pendahuluan
Fenomena kenakalan remaja merupakan cerminan dari kompleksitas transformasi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu negara. Di Jepang, pola kenakalan remaja mengalami perubahan besar dalam empat dekade terakhir—dari bentuk kekerasan jalanan dan geng motor, menuju bentuk yang lebih tersembunyi dan psikologis seperti isolasi sosial, kecanduan digital, hingga kekerasan daring. Pergeseran ini tidak hanya menggambarkan perubahan pola perilaku generasi muda, tetapi juga mencerminkan dinamika sistem pendidikan, teknologi, keluarga, dan relasi sosial dalam masyarakat Jepang.
Artikel ini akan menelusuri evolusi kenakalan remaja di Jepang dari masa ke masa berdasarkan data dan studi otoritatif, menelaah strategi pemerintah Jepang dalam menanganinya, serta menggali pelajaran penting yang dapat diadopsi dan diadaptasi oleh Indonesia untuk membangun sistem pencegahan kenakalan remaja yang efektif, manusiawi, dan berkelanjutan.
1. Evolusi Kenakalan Remaja di Jepang: Jejak Angka dan Pola Perilaku
1.1 Era Kekerasan Terbuka: Bōsōzoku dan Delinkuensi Kolektif (1970–1990)
Pada dekade 1970–1990-an, kenakalan remaja di Jepang paling mencolok muncul dalam bentuk geng motor (bōsōzoku), aksi balapan liar, intimidasi publik, hingga bentrok antar geng. Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja meningkat pesat. Data dari National Police Agency (NPA) mencatat:
- Pada tahun 1983, jumlah remaja pelaku kriminal mencapai 170.000 kasus—angka tertinggi dalam sejarah Jepang pasca perang.
- Jumlah anggota bōsōzoku resmi tercatat lebih dari 42.000 orang pada awal 1980-an.
Geng motor saat itu bukan hanya simbol pemberontakan terhadap sistem yang kaku, tetapi juga ruang ekspresi bagi remaja yang tertekan oleh tekanan akademik, keluarga, dan ketimpangan status sosial.
1.2 Periode Transisi: Era Mundurnya Kenakalan Fisik dan Meningkatnya Luka Psikososial (1995–sekarang)
Menjelang milenium baru, pemerintah Jepang menindak keras bōsōzoku. Jumlah anggotanya menurun drastis menjadi sekitar 7.000-an pada 2012. Namun, bentuk kenakalan lain mulai menggeliat dalam ranah psikologis:
- Fenomena hikikomori—remaja yang menarik diri total dari kehidupan sosial, mengurung diri di kamar selama bertahun-tahun. Survei Universitas Okinawa pada tahun 2002 memperkirakan sekitar 410.000 individu mengalami hikikomori (Miyake, 2002), dan berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan Jepang pada 2010, jumlah yang berisiko diperkirakan mencapai 1,5 juta orang (Aoki, 2010). Beberapa analisis pasca-pandemi memperkirakan bahwa jumlah ini kemungkinan telah meningkat.
- Perundungan (ijime) menjadi krisis tersendiri dalam sistem pendidikan Jepang. Pada tahun 2010, data MEXT mencatat lebih dari 70.000 laporan ijime, terutama di tingkat sekolah dasar. Namun, banyak kasus tidak terungkap akibat budaya “jangan menimbulkan masalah” dan tekanan untuk diam di lingkungan sekolah. Titik balik terjadi pasca tragedi Otsu tahun 2011, ketika seorang siswa SMP berusia 13 tahun bunuh diri akibat perundungan yang tidak ditangani pihak sekolah. Peristiwa ini mengguncang opini publik dan mendorong disahkannya Undang-Undang Pencegahan Ijime pada 2013. Definisi ijime diperluas secara legal berdasarkan perasaan korban, termasuk bentuk verbal, sosial, dan daring. Sejak itu, sekolah diwajibkan secara sistemik untuk melaporkan setiap bentuk perundungan. Lonjakan drastis pun terjadi—pada 2022, MEXT mencatat 732.568 kasus ijime, termasuk lebih dari 24.000 melalui media digital. Peningkatan ini mencerminkan perubahan paradigma: dari budaya diam menuju pengakuan aktif dan tanggap terhadap perundungan.
- Kasus bunuh diri di kalangan pelajar Jepang mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan sejak 1980. Pada tahun 2024, sebanyak 527 siswa dari jenjang SD hingga SMA mengakhiri hidupnya — terdiri dari 15 siswa SD, 163 siswa SMP, dan 349 siswa SMA. Meskipun secara nasional tingkat bunuh diri menurun, peningkatan pada kelompok usia sekolah ini mencerminkan tekanan psikososial yang memburuk, terutama pada siswi perempuan yang jumlahnya naik signifikan dibanding tahun sebelumnya.
1.3 Era Teknologi: Kenakalan Digital dan Perilaku Online Berisiko (2010–sekarang)
Dengan penetrasi digital dan media sosial yang merajalela, bentuk kenakalan remaja kembali bergeser, bertransformasi dari kekerasan fisik menjadi fenomena psikososial dan digital::
- Dari 732.568 kasus ijime (perundungan) di sekolah-sekolah Jepang, sekitar 24.678 kasus (3,4%) terjadi melalui media daring (cyber bullying) seperti ponsel dan komputer. Ini menunjukkan bahwa bentuk perundungan telah beradaptasi dengan era digital, meskipun kasus daring masih merupakan minoritas dari keseluruhan.
- Fenomena enjo-kôsai (‘compensated dating’) terus menjadi perhatian, terutama dengan meningkatnya akses remaja pada media sosial dan aplikasi chatting. Meskipun data yang pasti sulit diperoleh, beberapa survei dan laporan yang telah dilakukan di Jepang mengungkapkan kecenderungan terkait fenomena ini di kalangan remaja. Praktik ini menjadi semakin sulit untuk dilacak oleh karena banyak terjadi secara online melalui platform digital yang sulit dipantau.
- Kecanduan internet dan game telah menjadi tantangan serius di kalangan remaja Jepang. Menurut hasil survei tahun 2017 oleh laboratorium Hashimoto dan Institute for Information and Communications Policy (MIC),sekitar 20% remaja Jepang menunjukkan gejala kecanduan internet berdasarkan kriteria 8-item dari Kimberly Young. Gejala ini dikaitkan erat dengan meningkatnya penggunaan smartphone dan media sosial di usia belasan. Namun, peneliti juga mencatat bahwa definisi dan metode penilaian kecanduan digital masih menuai perdebatan, karena sebagian besar berbasis penilaian subjektif dan belum mempertimbangkan dampak sosial secara objektif.
- Di tengah menurunnya daya tarik dunia kriminal tradisional di Jepang, muncul fenomena kejahatan baru bernama tokuryū, kelompok kejahatan ad hoc yang tidak terorganisir secara hierarkis. Nama tokuryū berasal dari kata “tokumei” (anonim) dan “ryūdo” (cair), menandakan sifat mereka yang longgar, tidak tetap, dan anggotanya sering kali tidak saling mengenal. Mereka merekrut pemuda, sering kali remaja, melalui media sosial untuk melakukan kejahatan seperti perampokan, penipuan, dan kekerasan, dengan sistem yami-baito (pekerjaan ilegal sambilan).
- Antara 2021–2023, lebih dari 10.000 orang ditangkap terkait tokuryū. Salah satu kasus mencolok adalah perampokan jam tangan mewah oleh remaja yang direkrut secara daring. Banyak tokuryū terhubung dengan mantan yakuza atau beroperasi lintas negara, seperti di Filipina dan Asia Tenggara. Sementara itu, jumlah anggota yakuza menurun drastis karena regulasi ketat yang membatasi aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Usia rata-rata anggota meningkat, dan kaum muda kini enggan bergabung karena imbal hasil yang kecil dibanding risiko tinggi. Yakuza kini dianggap “tidak menarik” oleh anak muda Jepang, sementara tokuryū menawarkan “uang cepat” tanpa harus tunduk pada ikatan geng tradisional.
2. Faktor-faktor di Balik Pergeseran Fenomena Kenakalan di Jepang
Pergeseran kenakalan remaja di Jepang, dari geng motor dan kekerasan jalanan menuju kriminalitas digital dan perilaku menyimpang secara daring, bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari jalinan kompleks antara tekanan sistem pendidikan, perubahan dalam struktur keluarga, penetrasi teknologi, melemahnya ikatan sosial tradisional, serta ketidakpastian ekonomi yang membekas sejak dekade 1990-an.
2.1 Tekanan Struktural Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan Jepang, yang selama ini menjadi kebanggaan nasional karena kedisiplinan dan prestasinya, ternyata membawa sisi gelap berupa tekanan akademik yang luar biasa. Dari usia muda, siswa didorong untuk mengejar kesempurnaan dalam ujian masuk yang menentukan masa depan mereka. Fenomena “neraka ujian” (shiken jigoku) ini sering kali menyebabkan stres kronis dan keterasingan sosial. Remaja yang tidak mampu bertahan dalam tekanan ini berisiko mengalami depresi, penarikan diri (hikikomori), atau mencari pelampiasan melalui kenakalan digital dan subkultur internet.
2.2 Struktur Keluarga dan Menurunnya Kohesi Antar Generasi
Di sisi lain, keluarga tradisional Jepang pun mengalami transformasi. Orang tua yang bekerja penuh waktu, kehidupan yang serba cepat, dan menurunnya komunikasi antargenerasi membuat anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang secara emosional kosong. Banyak remaja merasakan kesepian meski tinggal serumah. Ketika ruang ekspresi emosi tertutup di rumah, dunia maya menjadi pelarian—tempat di mana mereka bisa menjadi siapa pun, termasuk menjadi pelaku atau korban eksploitasi.
2.3 Keberagaman Teknologi dan Efek Disinhibisi Digital
Teknologi menjadi katalis yang mempercepat perubahan ini. Jepang adalah masyarakat digital dengan penetrasi smartphone yang sangat tinggi. Dunia daring menyediakan ruang tanpa batas dan nyaris tanpa kontrol, di mana remaja bisa mengekspresikan agresi atau pemberontakan tanpa konsekuensi langsung. Anonimitas internet mendorong disinhibisi, menjadikan perundungan siber, radikalisasi, dan rekrutmen kriminal melalui platform seperti LINE, Telegram, atau 5channel semakin masif.
2.4 Terkikisnya Jangkar Sosial Tradisional
Apa yang dulu menjadi jangkar sosial—komunitas lokal, kelompok pengawas lingkungan, dan keluarga besar—kini perlahan menghilang. Urbanisasi, penuaan penduduk, dan individualisme telah mengikis solidaritas sosial. Ruang-ruang informal yang dulu menjadi wadah pengawasan sosial bagi remaja kini kosong. Mereka yang merasa terisolasi cenderung tidak terdeteksi sampai bertindak ekstrem.
2.5 Ketidakpastian Ekonomi dan Trauma “Dekade yang Hilang”
Di atas semua itu, yang masih membayangi generasi muda Jepang adalah ketidakpastian ekonomi pasca “Dekade yang Hilang.” Banyak anak muda tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan finansial dan kekecewaan terhadap institusi. Rasa kehilangan arah ini menciptakan generasi sinis yang tidak lagi percaya pada sistem. Dalam kekosongan ini, muncul fenomena pemuda “freeter” (setengah menganggur), NEET (Not in Education, Employment, or Training), dan bentuk kriminalitas pragmatis seperti yami-baito—pekerjaan ilegal yang dijalani tanpa identitas dan tanpa ikatan.
3. Respon Strategis Jepang: Kebijakan, Pencegahan, dan Rehabilitasi
Pendekatan Jepang terhadap kenakalan remaja telah mengalami kalibrasi ulang yang signifikan selama empat dekade terakhir, berkembang dari pengawasan reaktif terhadap kejahatan tingkat jalanan menjadi strategi multisektoral yang lebih proaktif yang berfokus pada pencegahan, kesejahteraan psikologis, dan regulasi digital. Transformasi ini mencerminkan pengakuan Jepang bahwa penyimpangan remaja bukan lagi masalah kriminal semata, tetapi masalah yang sangat terkait dengan isolasi sosial, kesehatan mental, serta perubahan struktural terkait budaya digital.
3.1 Reformasi Legislasi dan Penegakan Hukum: Penanggulangan Terfokus terhadap Kejahatan Remaja yang Terorganisir
Selama puncak era bōsōzoku, Jepang mengadopsi pendekatan garis keras terhadap geng-geng remaja, dengan memanfaatkan kombinasi legislasi dan pengawasan agresif. Amandemen Undang-Undang Lalu Lintas Jalan Raya tahun 1982 dan revisi Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Terkait Geng tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih luas kepada penegak hukum untuk menahan, memantau, dan membubarkan jaringan bōsōzoku.
Namun, strategi Jepang semakin matang pada tahun 2010-an dengan munculnya kejahatan digital terdesentralisasi pada remaja. Menyadari keterbatasan kepolisian tradisional, Badan Kepolisian Nasional (NPA) mulai berfokus pada pengawasan digital, kolaborasi dengan platform teknologi, dan pembuatan profil berbasis AI untuk mendeteksi dan mencegah kejahatan seperti perundungan siber, enjo-kōsai, dan perekrutan daring oleh tokuryū. Meskipun taktik ini telah menunjukkan keefektifannya, taktik ini menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan sipil yang terus menimbulkan perdebatan dalam lingkungan hukum dan akademis Jepang.
3.2 Kebijakan Pendidikan sebagai Mekanisme Pertahanan Sosial
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi (MEXT) telah mengambil peran utama dalam mencegah kenakalan remaja melalui reformasi kurikulum dan intervensi berbasis sekolah. Langkah strategis yang penting meliputi:
- Integrasi “pendidikan moral” (dōtoku kyōiku) sebagai mata pelajaran formal di sekolah dasar dan menengah sejak tahun 2018. Reformasi ini bertujuan untuk menumbuhkan empati, ketahanan, dan tanggung jawab sosial.
- Penempatan School Counselor (SC) dan School Social Workers (SSW) untuk menyediakan layanan psikologis di tempat, terutama di sekolah dengan tingkat perundungan yang tinggi.
- Penerapan undang-undang anti perundungan nasional, termasuk “Undang-Undang untuk Mempromosikan Langkah-Langkah Pencegahan Perundungan” tahun 2013, yang mengamanatkan sekolah untuk mengambil tindakan cepat dan melaporkan kasus perundungan yang parah kepada dewan pendidikan setempat.
- Pengembangan program literasi digital untuk membekali siswa dengan keterampilan untuk menavigasi lingkungan daring dengan aman dan kritis, terutama di sekolah menengah pertama tempat akses telepon pintar tersebar luas.
Langkah-langkah ini berorientasi pada pencegahan, yang menargetkan akar kerentanan sosial dan psikologis yang membuat remaja cenderung berperilaku nakal.
3.3 Infrastruktur Kesehatan Mental dan Strategi Intervensi terhadap Fenomena Hikikomori
Menyadari bahwa banyak bentuk kenakalan remaja modern merupakan gejala dari tekanan psikososial dan bukan niat kriminal, Jepang semakin memprioritaskan dukungan kesehatan mental. Fenomena hikikomori memicu pemerintah untuk mengembangkan model intervensi berlapis:
- Pembentukan Pusat Dukungan Komunitas untuk Hikikomori (hikikomori shien sentā), yang didanai oleh pemerintah daerah dan dioperasikan oleh pekerja sosial psikiatris terlatih. Pusat-pusat ini menawarkan program penjangkauan, konseling daring, dan rencana reintegrasi.
- Survei nasional dan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (MHLW) untuk melacak skala dan lintasan kasus penarikan sosial.
- Promosi pendekatan yang berpusat pada keluarga, mengakui peran penting pengasuh dalam memungkinkan atau menyembuhkan penarikan sosial. LSM dan NPO telah dikontrak untuk melatih orang tua dalam teknik dukungan yang sadar trauma.
Strategi-strategi ini tidak bersifat menghukum tetapi rehabilitatif, yang didasarkan pada pemahaman bahwa isolasi remaja merupakan gejala sosial sekaligus tantangan yang dapat dipecahkan.
3.4 Tata Kelola Digital dan Ekosistem Pencegahan Siber
Menanggapi pergeseran ke arah penyimpangan daring, Jepang telah mengambil beberapa langkah strategis untuk membangun ekosistem pencegahan siber:
- Kemitraan antara lembaga pemerintah (seperti NPA dan MIC) dan perusahaan teknologi besar (LINE Corp., SoftBank, Yahoo Japan) untuk menciptakan sistem pemantauan dan pelaporan waktu nyata untuk perilaku digital yang merugikan.
- Peluncuran saluran bantuan digital anonim dan chatbot yang dimoderatori AI yang dirancang untuk mendeteksi ide bunuh diri atau tanda-tanda pelecehan pada remaja berdasarkan pola linguistik.
- Peraturan platform pembayaran anonim dan aplikasi transaksi peer-to-peer untuk mencegah penggunaannya dalam aktivitas ilegal remaja, termasuk yami-baito dan enjo-kōsai.
Kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari kerangka kerja berbasis penegakan hukum ke model pengurangan bahaya berbasis data. Etos strategisnya bukan lagi “menindak tegas,” tetapi “mencegah risiko.”
3.5 Koproduksi Masyarakat Sipil dan Intervensi Berbasis Kepercayaan
Salah satu elemen yang lebih progresif dalam respons strategis Jepang adalah penggabungan aktor masyarakat sipil—LSM, relawan lokal, organisasi keagamaan, dan kelompok advokasi pemuda—ke dalam model koproduksi keselamatan sosial. Model ini mencakup:
- Program bimbingan yang menghubungkan pemuda yang rentan dengan panutan orang dewasa yang memberikan bimbingan karier dan dukungan emosional.
- Pusat komunitas “Tempat Ketiga” (misalnya, Kodomo Shokudo atau kafetaria anak-anak) yang menawarkan lingkungan sosial yang aman, makanan, dan konseling informal bagi pemuda dari rumah yang tidak stabil.
- Kelompok patroli sukarelawan (jōkaishōbōdan) yang memantau zona sekolah, taman, dan kafe internet—memadukan kehadiran masyarakat dengan pengawasan sosial non-kepolisian.
Daripada hanya bergantung pada lembaga negara, Jepang telah mengembangkan ekologi kepercayaan warga negara, di mana pemuda didekati sebagai agen sosial yang harus diintegrasikan kembali, bukan tersangka yang harus ditindas.
4. Key Takeaways Bagi Indonesia: Lesson Learn dari Evolusi Jepang dalam Mengatasi Kenakalan Remaja
Indonesia, seperti Jepang, tengah mengalami transformasi sosial dan teknologi yang pesat. Penurunan kenakalan remaja di jalanan dan munculnya perilaku antisosial di era digital—perundungan siber, eksploitasi seksual daring, subkultur menyakiti diri sendiri, dan ekstremisme ideologis—menandakan adanya perubahan yang tidak dapat ditangani hanya melalui penegakan hukum konvensional. Pengalaman Jepang selama beberapa dekade menawarkan pelajaran strategis yang berharga bagi Indonesia, khususnya dalam menyeimbangkan penekanan dengan pencegahan, dan tindakan hukuman dengan penyembuhan psikososial.
4.1 Transisi dari Pemidanaan Reaktif ke Ekosistem Preventif
Indonesia harus bergerak melampaui pemolisian reaktif berbasis insiden terhadap kenakalan remaja menuju kerangka kerja pencegahan yang komprehensif. Ini termasuk intervensi dini di sekolah, integrasi layanan kesehatan mental, dan perluasan lingkungan digital yang aman dan diawasi. Seperti Jepang, Indonesia harus berupaya mengurangi vektor risiko sebelum meningkat menjadi krisis yang parah.
Actionable Insight: Tetapkan konselor kesehatan mental berbasis sekolah dan latih guru dalam praktik yang memperhatikan trauma. Gunakan model School Counselor (SC) dan School Social Workers (SSW) Jepang sebagai cetak biru awal.
4.2 Mengembangkan Infrastruktur Kesehatan Mental Holistik
Sebagaimana hikikomori di Jepang yang mengungkap arus bawah psikologis dari keterasingan generasi muda mereka, Indonesia harus mengakui dan mengatasi krisis kesehatan mentalnya sendiri di kalangan remaja—yang ditandai dengan meningkatnya angka penyalahgunaan narkoba, tawuran, bullying/cyberbullying, sex bebas, pencurian, dan vandalisme di kalangan remaja.
Langkah Strategis: Layanan kesehatan mental terdesentralisasi yang dapat menjangkau daerah pedesaan dan masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah. Tetapkan posko kesehatan mental berbasis masyarakat yang terhubung dengan pusat perawatan primer (puskesmas), mirip dengan pusat dukungan hikikomori lokal Jepang.
4.3 Membangun Civil Society-Led Co-Production Models
Keberhasilan Jepang dalam memobilisasi aktor masyarakat sipil—seperti dapur umum, program pendampingan sebaya, dan kelompok ronda lingkungan—menunjukkan kekuatan jaringan kepercayaan lokal dalam memulihkan agensi kaum muda. Indonesia, dengan tradisi gotong royong yang kaya, secara budaya cenderung memiliki kecocokan dengan model tersebut.
Langkah Strategis: Berinvestasi di “tempat ketiga” untuk kaum muda: perpustakaan, kafe remaja, pusat pembelajaran informal, dan ruang kreatif lokal tempat kaum muda yang berisiko dapat menemukan bimbingan dan rasa memiliki di luar lembaga formal.
4.4 Kenali dan Atur Medan Tempur Digital
Seperti halnya di Jepang, budaya anak muda Indonesia kini sangat dipengaruhi oleh dunia digital. Internet bukan hanya tempat bermain, tetapi juga medan tempur—yang membentuk identitas sekaligus membuka peluang bagi eksploitasi. Kapasitas regulasi Indonesia harus mampu mengikuti laju perkembangan ini.
Langkah Strategis: Kembangkan kerangka ketahanan digital (cyber-wellness) melalui kemitraan antara perusahaan teknologi, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil. Integrasikan etika digital, keamanan online, dan literasi emosional ke dalam kurikulum sekolah. Bangun mekanisme pelaporan yang terpercaya untuk kasus penyalahgunaan daring dan perundungan seksual online.
4.5 Mengubah Cara Pandang dan Narasi: Dari “Kenakalan” Menjadi “Kepedihan”
Mungkin wawasan paling mendalam yang dapat dipetik dari Jepang bersifat epistemologis: bahwa banyak tindakan “kenakalan” remaja modern sesungguhnya bukanlah ekspresi kriminalitas, melainkan gejala dari kepedihan, keterabaian, dan kebingungan di tengah dunia yang berubah cepat. Indonesia harus menolak untuk membingkai penyimpangan remaja semata-mata dari kacamata moralitas atau hukuman.
Langkah Strategis: Luncurkan kampanye kesadaran publik yang memanusiakan remaja rentan. Dorong media untuk mengangkat kisah ketahanan dan pemulihan, bukan sekadar menyorot penyimpangan secara sensasional.
Penutup
Indonesia berada di persimpangan demografi dan digital. Seiring dengan pertumbuhan populasi muda dan pergeseran struktur masyarakat, risiko kesalahpahaman terhadap perilaku remaja menjadi tinggi. Evolusi Jepang dari tindakan keras di jalanan menjadi strategi psikososial menawarkan peta jalan yang tepat waktu. Jika Indonesia dapat berinvestasi dalam ekosistem berbasis kepercayaan, kolaborasi interdisipliner, dan ketahanan mental, Indonesia tidak hanya akan mengatasi patologi—tetapi juga merebut kembali potensi—generasi berikutnya.
Referensi
- Asahi Shimbun. (2022, May 20). Japan’s police to increasingly partner up with AI to fight crime. The Asahi Shimbun. https://www.asahi.com/sp/ajw/articles/14421414
- Cabinet Office Japan. (2022). Survey on Hikikomori. Retrieved from https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10990035/
- JapanGov. (2024, June). Japan’s AI-based crime prediction technology. Kizuna. https://www.japan.go.jp/kizuna/2024/06/japans_ai-based_crime_prediction.html
- Krieg, A., & Dickie, J. R. (2013). Attachment and “Hikikomori”: A psychosocial developmental model. International Journal of Social Psychiatry, 59(1), 15–26. https://doi.org/10.1177/0020764011423182
- MDPI. (2023). The association between internet addiction and adolescents’ mental health. Behavioral Sciences, 15(2), 116. https://www.mdpi.com/2076-328X/15/2/116
- MDPI. (2023). Youth suicide in Japan: Exploring the role of subcultures, internet use, and mental health. Diseases, 13(1), 2. https://www.mdpi.com/2079-9721/13/1/2
- Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT). (2022). National Survey on Student Absenteeism and Bullying. Retrieved from https://www.childresearch.net/papers/school/2022_01.html
- Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT). (2024). 2023 survey results on problematic behavior, school refusal, and other student guidance issues (令和5年度児童生徒の問題行動・不登校等生徒指導上の諸課題に関する調査結果について) [PDF]. https://www.mext.go.jp/content/20241031-mxt_jidou02-100002753_2_2.pdf
- Murai, T. (1988). Current problems of juvenile delinquency in Japan. Hitotsubashi Journal of Law and Politics, 16, 1–10. https://hermes-ir.lib.hit-u.ac.jp/hermes/ir/re/8213/HJlaw0160000010.pdf
- National Police Agency (NPA) Japan. (2022). Crime situation in 2022. Retrieved from https://www.npa.go.jp/english/Statistics.html
- National Police Agency (NPA) Japan. (2024). The police white paper 2024 (Digest edition). https://www.npa.go.jp/english/publication/r06_english_hakusyo.pdf
- Sugimori, S. (2022). Anatomy of child bullying in Japan 10: Effects of the broader definition of bullying. Child Research Network Asia. Retrieved from https://www.childresearch.net/papers/school/2022_01.html
- The Japan Times. (2024, June 19). Serious bullying cases hit record high in 2022. Retrieved from https://www.japantimes.co.jp/news/2024/06/19/japan/society/serious-bullying-cases/
- Asia Pacific Foundation of Canada. (2022). 2% of Japanese labour force could be ‘modern-day recluses’. Retrieved from https://www.asiapacific.ca/publication/2-percent-japanese-labour-force-modern-day-recluses
- The Japan Times. (2025, April 3). NPA says organized crime in Japan hit record low in 2024. The Japan Times. https://www.japantimes.co.jp/news/2025/04/03/japan/crime-legal/npa-organized-crime/
- The Guardian. (2024, May 10). Tokuryu: The new face of organized crime in Japan. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/article/2024/may/10/tokuryu-japan-criminals-yakuza-ntwnfb