Pendahuluan
Mandala perang telah berkembang seiring dengan perubahan zaman, mencakup dimensi-dimensi fisik seperti darat, laut, udara, dan luar angkasa, hingga ruang siber yang menjadi arena konflik baru dalam era digital. Namun, dimensi psikologis dan ideologis, yang menjadi fondasi semua bentuk perang, sering kali diabaikan. Padahal, seperti yang dijelaskan Carl von Clausewitz dalam teori “Center of Gravity” (1832), kekuatan inti suatu bangsa, seperti moral dan ideologi, menjadi target utama dalam konflik. Dengan munculnya teknologi informasi, manipulasi terhadap ruang berpikir individu melalui propaganda dan disinformasi semakin sering digunakan untuk mencapai tujuan strategis tanpa perlu keterlibatan militer langsung. Situasi ini menuntut perhatian lebih besar terhadap pengelolaan ruang berpikir untuk melindungi masyarakat dari pengaruh yang merusak.
Mandala perang secara umum mencakup lima dimensi utama: darat, laut, ruang udara, angkasa luar, dan ruang siber. Ruang siber menjadi dimensi yang semakin penting seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, serta maraknya penyebaran hoaks yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (Ipoleksosbudhankam). Dalam konteks ini, ruang siber tidak hanya menjadi arena konflik baru, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas nasional jika tidak dikelola dengan baik.
Mandala perang yang paling fundamental adalah dimensi psikologis dan ideologis, yang menjadi fondasi seluruh bentuk peperangan lainnya. Dalam teori “Center of Gravity” oleh Carl von Clausewitz, kekuatan inti suatu negara, seperti moral, ideologi, dan pemikiran, sering menjadi target strategis dalam konflik. Mandala ini berperan sebagai pemicu utama dalam pengambilan keputusan dan strategi militer. Sayangnya, dimensi ini sering terabaikan dalam diskusi akademik, meskipun dampaknya sangat signifikan dalam membentuk hasil peperangan.
Mandala psikologis jarang dibahas secara mendalam dalam studi pertahanan karena lebih sulit diukur dan divisualisasikan dibandingkan dengan dimensi fisik seperti darat, laut, atau udara. Namun, teori “Psychological Warfare” yang dijelaskan oleh Paul M. A. Linebarger menekankan pentingnya memengaruhi pikiran, emosi, dan kehendak lawan sebagai elemen kunci dalam strategi perang. Kurangnya perhatian terhadap dimensi ini dapat menyebabkan kegagalan dalam memahami motivasi dan dinamika konflik.
Secara historis, Perang Dunia II dimulai pada 1 September 1939 dengan invasi Jerman ke Polandia. Hal ini sesuai dengan interpretasi klasik dalam buku The Second World War karya Sir Winston Churchill, yang mendasarkan awal perang pada peristiwa fisik. Namun, perspektif ini hanya mencakup mandala perang fisik dan tidak mempertimbangkan dimensi psikologis dan ideologis yang melandasinya.
Jika ditinjau dari perspektif ideologis, Perang Dunia II dapat dikatakan dimulai jauh sebelum 1939, yaitu sejak ide-ide radikal dalam Mein Kampf muncul dalam pikiran Adolf Hitler. Dalam teori “Cultural Hegemony” oleh Antonio Gramsci, ideologi memiliki peran sentral dalam membentuk tindakan dan keputusan. Ide-ide Hitler mengenai supremasi ras Arya dan ekspansi wilayah menjadi fondasi psikologis yang memicu invasi Jerman dan eskalasi perang. Pandangan ini menunjukkan bahwa perang sering kali berakar pada konflik ideologis sebelum manifestasi fisiknya terjadi.
Dalam disertasinya tentang “Keamanan Ruang Berpikir,” saudara Karim menggarisbawahi bahwa ruang berpikir adalah tempat di mana persepsi ancaman dan keamanan terbentuk, serta ide perang lahir. Teori konstruktivisme sosial oleh Alexander Wendt dalam Social Theory of International Politics (1999) menekankan bahwa “anarchy is what states make of it,” menunjukkan bahwa persepsi manusia terhadap ancaman sepenuhnya dibentuk oleh konstruksi sosial dan ruang berpikir. Konsep ini juga berhubungan dengan collective memory Maurice Halbwachs (1950), yang menyatakan bahwa “memory is a social construct, shaped by group interactions.” Hal ini menjelaskan bagaimana semangat perjuangan, seperti gagasan “Patimura muda,” dapat terus hidup meskipun individu fisik telah tiada, karena gagasan itu tertanam dalam memori kolektif komunitas.
Namun, ancaman terhadap ruang berpikir semakin serius dengan manipulasi melalui mekanisme social engineering. Dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988), Noam Chomsky dan Edward S. Herman menyatakan bahwa “the mass media serves as a system for communicating messages and symbols to the general populace, shaping perceptions in line with the interests of dominant elites.” Disinformasi dan propaganda dapat membentuk ruang berpikir individu tanpa disadari, menjadikannya sasaran empuk dalam perang generasi baru. Ketika ruang berpikir berhasil dikendalikan, daya kritis manusia berkurang, membuat mereka lebih mudah diarahkan menuju tujuan yang diinginkan oleh pihak eksternal.
Penjajahan terhadap ruang berpikir melalui manipulasi bawah sadar menggambarkan bentuk baru dari Fourth Generation Warfare (William S. Lind, 1989). Dalam jenis perang ini, “the battlefield is not physical but cognitive and psychological, targeting the will and beliefs of the enemy.” Serangan ini lebih banyak dilakukan melalui media, teknologi informasi, dan infiltrasi budaya untuk memengaruhi cara berpikir individu. Manipulasi ruang berpikir ini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan teori Cognitive Dissonance dari Leon Festinger (1957), yang menyatakan bahwa “individuals experience psychological discomfort when they hold conflicting cognitions, and they seek to reduce this discomfort by aligning their beliefs or behaviors.” Dengan cara ini, ruang berpikir dapat dimanipulasi hingga individu menerima narasi yang salah sebagai kebenaran.
Hal ini terlihat dalam persepsi mengenai sepak bola Asia. Ketika masyarakat menyalahkan keterbatasan fisik sebagai penyebab utama ketertinggalan Asia dari Eropa, pandangan ini mencerminkan fixed mindset menurut Carol Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success (2006). Ia menyatakan bahwa “the view you adopt for yourself profoundly affects the way you lead your life.” Padahal, pemain seperti Diego Maradona dan Lionel Messi telah membuktikan bahwa kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh faktor fisik. Pola pikir yang terkooptasi oleh asumsi-asumsi ini menunjukkan bagaimana manipulasi ruang berpikir dapat membatasi potensi manusia. Sebagai solusi, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menegaskan bahwa “liberation is a praxis: the action and reflection of men and women upon their world in order to transform it,” menekankan pentingnya pendidikan kritis untuk membebaskan ruang berpikir manusia dari narasi yang membelenggu.
Ketidakpresisian dalam ruang berpikir manusia sering kali terjadi karena adanya stereotip atau standar yang dibentuk secara sosial dan diterima secara luas tanpa refleksi kritis. Contohnya, definisi kecantikan yang mengutamakan tinggi semampai, kulit putih, dan hidung mancung mencerminkan apa yang disebut Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979) sebagai cultural capital. Standar ini didorong oleh institusi sosial seperti media dan industri kecantikan, yang mereproduksi norma-norma yang menguntungkan mereka. Hal serupa terjadi dalam definisi kecerdasan yang sering kali terbatas pada IQ atau kemampuan verbal. Howard Gardner, dalam teorinya tentang Multiple Intelligences (1983), mengidentifikasi berbagai jenis kecerdasan lain, termasuk kecerdasan interpersonal, intrapersonal, dan spiritual, yang sering diabaikan karena fokus masyarakat yang berlebihan pada parameter kecerdasan tradisional.
Proses pembentukan definisi ini bukanlah sesuatu yang netral, melainkan bagian dari “mantera” yang diciptakan melalui konstruksi sosial. Noam Chomsky, dalam Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda (1991), menyebutkan bahwa narasi sosial sering kali didikte oleh pihak-pihak berkuasa untuk mempertahankan kendali atas opini publik. Stereotip ini menjadi “mantera” yang sulit dilepaskan karena tertanam dalam pola pikir masyarakat sejak dini. Bahkan ketika individu menyadari bahwa standar ini tidak universal, internalisasi mendalam membuat mereka sulit sepenuhnya bebas dari pengaruhnya.
Jacques Ellul dalam Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes (1965) menyebutkan bahwa propaganda adalah alat efektif dalam perang psikologis yang digunakan sebagai bentuk agresi tidak langsung. Perang jenis ini tidak menyerang fisik, melainkan menyerang opini publik, nilai-nilai, dan keyakinan masyarakat. Dengan teknik manipulasi informasi, propaganda bertujuan untuk mengubah sistem nilai (value system), keyakinan (belief system), hingga perilaku target audiens agar mendukung agenda pencetusnya tanpa disadari oleh korban. Dalam konteks internasional, perang ini dapat melemahkan lawan tanpa perlu mengerahkan kekuatan militer, menjadikannya strategi efektif dalam konflik modern.
Kesulitan dalam melawan agresi psikologis ini adalah ketiadaan bukti konkret yang dapat dibawa ke pengadilan. Seperti yang dijelaskan oleh Ellul, “Propaganda leaves no trace, yet it can transform the world” (Propaganda, 1965). Hal ini sejalan dengan teori Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975), di mana kekuasaan yang tersembunyi menjadi sangat efektif karena bekerja melalui mekanisme kontrol tidak langsung terhadap pikiran dan perilaku. Dunia kini telah memasuki era perang generasi baru, di mana penguasaan terhadap ruang berpikir menjadi alat dominasi yang sulit dilawan. Propaganda modern, yang diperkuat dengan teknologi dan media digital, semakin memperluas skala dan dampak perang ini, menjadikan kebebasan berpikir manusia sebagai sasaran utama dalam konflik global.
Kesimpulan
Dimensi psikologis dan ideologis, meskipun sulit diukur, merupakan elemen mendasar dalam semua bentuk perang. Manipulasi terhadap ruang berpikir, baik melalui propaganda maupun strategi social engineering, dapat merusak kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis dan membedakan kebenaran dari kebohongan. Perang generasi baru ini tidak hanya menyerang infrastruktur fisik tetapi juga menyerang moral, keyakinan, dan kebebasan individu. Seperti yang dijelaskan oleh Jacques Ellul dalam Propaganda (1965), “propaganda is the tool of choice in psychological warfare, influencing not only actions but the very way people think.” Dengan demikian, memahami dan mengatasi ancaman ini adalah langkah penting untuk menjaga stabilitas nasional dan kedaulatan berpikir.
as a Feedback,
untuk itu, masyarakat dan generasi muda perlu meningkatkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis untuk mengatasi dampak negatif propaganda dan manipulasi informasi. Howard Gardner dalam teorinya tentang “Multiple Intelligences” (1983) menekankan pentingnya kecerdasan interpersonal dan intrapersonal untuk memahami dan menilai informasi secara objektif. Pendidikan kritis seperti yang diusulkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) juga diperlukan untuk membebaskan ruang berpikir dari narasi yang membelenggu. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan platform digital harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kebebasan berpikir dan mencegah penyebaran disinformasi. Dengan langkah ini, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang melindungi ruang berpikir masyarakat dari ancaman perang generasi baru.
Thinktank.ID