Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan 48 nama menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala badan setingkat pada (20/10) kemarin. Latar belakang mereka beragam, dari politisi, pengusaha, profesional, hingga tokoh agama. Namun, dari ratusan nama tersebut, salah satu fakta menyedihkan adalah minimnya keterlibatan perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo.
Jika ditelisik lebih jauh, kehadiran perempuan dalam Kabinet Merah Putih adalah sosok yang sangat luar biasa di bidangnya. Tanpa bermaksud mendiskreditkan kehadiran laki-laki dalam kabinet tersebut, kita memiliki kesimpulan bahwa, perempuan untuk masuk dalam ranah politisi dan diakui publik, membutuhkan kemampuan luar biasa, perempuan harus high-level, sehingga publik akan mengetahui bahwa seseorang itu mampu. Hal ini tidak terjadi pada sosok laki-laki. Sekalipun kemampuannya sama dengan masyarakat lainnya, ia memiliki ruang yang luas untuk diakui oleh publik dalam sebuah kepemimpinan.
Analisis Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan, perempuan dalam Kabinet Merah Putih cuma 13 dari 109 orang atau 12 persen saja. Artinya, angka ini tidak mencapai 30% kehadiran perempuan, seperti yang diupayakan oleh pemerintah tentang partisipasi perempuan dalam politik. Jika dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi (2019-2024), terdapat 12% partisipasi perempuan. Sekalipun dalam jumlah persentase tidak ada bedanya, angka ini membuktikan bahwa masih minimnya keterlibatan perempuan dalam jajaran kementerian, sehingga masih patut dipertanyakan, bagaimana keseriusan pemerintah dalam mengawal partisipasi perempuan di politik.
Kerapkali sebagian masyarakat masih mempertanyakan tentang urgensitas keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, utamanya dalam jajaran kementerian. Seperti yang kita ketahui bahwa, dalam kehidupan sehari-hari, perempuan lebih tahu terhadap kebutuhannya. Misalnya masalah kesehatan reproduksi, kesehatan keluarga, harga sembilan bahan pokok, pendidikan anak, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, diskriminasi di tempat kerja, maupun diskriminasi di hadapan hukum. Menjadi sangat penting bagi perempuan, ikut menjadi pembuat keputusan politik. Keikutsertaan perempuan dalam pembuatan keputusan publik, dapat mencegah segala bentuk diskriminasi atau kebijakan yang kurang berpihak kepada mereka sehingga mendorong terciptanya inkusifitas.
Perempuan dan Pembangunan
Keterlibatan perempuan dalam politik, bermakna bahwa dalam suatu negara terjadi proses pembangunan yang signifikan. Salah satu faktor bahwa sebuah demokrasi berjalan sebagai sebuah sistem negara, adanya partisipasi semua kelompok dalam proses demokrasi itu sendiri. artinya, tidak ada pembeda antara jenis kelamin, gender, ras, suku ataupun kelompok agama. Setiap orang memiliki hak penuh untuk memilih dan dipilih serta terlibat dalam proses politik yang terjadi. Keterlibatan perempuan dalam ranah politik menunjukkan proses demokrasi berjalan dalam sebuah negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus mendorong keterlibatan perempuan dalam politik. Harapan ini pada kenyataannya belum terealisasi sepenuhnya dalam pemerintahan Presiden Prabowo, apabila dilihat dari partisipasi perempuan dalam jajaran kementerian.
Sejauh ini, masyarakat sipil selalu bergerak bersama untuk mendorong keterlibatan perempuan dan politik. Melalui berbagai cara seperti peningkatan kesadaran masyarakat untuk memilih politisi perempuan, pendidikan politik untuk perempuan, hingga berbagai edukasi untuk masyarakat tentang politik. Meski demikian, keberadaan perempuan dalam jajaran kementerian, dipilih langsung oleh Presiden untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara. Sejauh ini, ada tren yang menurun dari angka partisipasi perempuan dalam jajaran kementerian di era Presiden Jokowi dengan Presiden Prabowo. Posisi timpang ini juga terjadi antara jajaran perempuan di kementerian dengan jajaran perempuan di parlemen (DPR/DPRD).
Data terbaru, pada Pemilu tahun 2024, per 1 Oktober 2024, keterwakilan perempuan meningkat menjadi 21,9 persen dari 580 anggota DPR atau setara dengan 127 orang. Berdasarkan data ini, dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat peningkatan 4,6 persen keterwakilan perempuan di DPR. Pencapaian ini patut kita apresiasi sekaligus menjadi tantangan besar bahwa politik maskulin masih mengakar dalam budaya demokrasi Indonesia. Perempuan dalam tatanan cabinet, masih mengalami peminggiran, terbukti dengan persentase yang cukup kecil dalam penempatan perempuan di pemerintahan.
Salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs), adalah terciptanya kesetaraan gender. Secara global, dorongan terciptanya ruang keterlibatan perempuan dalam ranah publik sangat besar, termasuk dalam pemerintahan. Artinya, melalui kacamata global, Indonesia akan dilihat mengalami kemunduran ketika melihat angka partisipasi perempuan dalam jajaran pemerintahan menurun. Dukungan internasional terhadap Indonesia akan menurun apabila melihat kemunduran angka partisipasi perempuan dalam pemerintah.
Padahal, pentingnya partisipasi perempuan akan berpengaruh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Semakin banyak keterlibatan perempuan, maka suara-suara perempuan yang masuk untuk kepentingan publik, akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan sehingga proses demokrasi berjalan dengan baik melalui hadirnya perempuan di dalam pemerintahan.